Dirham Fauzan Ibrahim

Sabtu, 23 Februari 2013

Putri Laut

Di kedalaman laut yang mengelilingi berbagai pulau di dekat tempat terbitnya matahari terdapat jasad seorang pemuda yang telah mati. Di sekitar, diantara tanaman batu karang, duduklah putri laut dengan rambut keemasan memandang jenazah pemuda itu melalui mata biru mereka yang indah. Mereka bercakap dengan lembut dalam alunan musik dan kata-kata mereka ditangkap oleh kedalaman dan dibawa gelombang menuju pantai, dan angin sepoi membawanya ke pendengaran jiwaku.
    Puteri pertama berkata, "inilah seorang manusia yang tercebur kemarin tatkala laut mengamuk."
    Puteri kedua menanggapi, "tidak, laut tiddak mengamuk. tetapi orang ini yang mengaku titisan dewa-dewa, terlibat dalam kecamuk perang memyebabkan darah tertumpah sehingga air lautan menjadi merah kesumba. Pemuda ini adalah korban perang."
    Puteri ketiga kini yg bicara, "aku tidak tahu apa arti perang, namun yg kutahu bahwa manusia, setelah mereka dapat menguasai daratan kini ingin juga menddambakan kerajaan lautan. Maka diciptakanlah alat-alat berat yang menakutkan yang dapat membelah ombak. Akhirnya Neptune, dewa laut, tahu maka ia pun murka atas ketamakan manusia itu. Ia tak melihat lagi manusia memberikan tumbal sebagai sesajian untuk kedaulatan kita. Dan korban-korban yg kemarin kita lihat itu adalah persembahan manusia yg terakhir kepada sang Neptun perkasa."
    Puteri keempat berkata, "betapa hebatnya Neptune, namun, betapa keras hatinya! Jika aku menjadi dewi lautan, aku takkan memperkenankan penguburan yang berdarah. Marilah kita lihat jasad pemuda ini, siapa tahu kita dapat mempelajari sesuatu tentang makhluk manusia."
    Kemudian Puteri laut itu mendekati si pemuda. Mereka menggeledah kantong seragam tentaranya, dan secara kebetulan mereka dapati sepucuk surat di kantong baju yg berdekatan dengan hatinya. Mereka mengambil surat itu, salah seorang dari mereka membacanya.
    "Kekasihku. Tengah malam telah menabrak dan aku tetap berjaga-jaga. tanpa seorang menghiburku melainkan air mataku dan tiaada penghibur selain harapanku atas kedatanganmu kepadaku kembali dari cengkeram peperangan. Aku tak mampu berfikir kecuali pada ucapanmu saat kau beri aku selamat tinggal, bahwa setiap manusia mempunyai titipan air mata yg suatu saat lelah haruslah dikembalikan.
    "Kekasihku, aku tak tahu apa yg kutulis tapi kubiarkan saja jiwaku mengalirkannya keatas kertas. Jiwa yang tersiksa oleh kesengsaraan namun terhibur oleh cinta yang mana kepedihan menjadi suatu nikmat dan duka lara menjadi suka lara. Dan manakala cinta menyatukan hati kita, maka kita mengharap bersatunya dua raga dengan satu jiwa. Perang memanggilmu dan engkau pun mengikutinya, didorong oleh kewajiban untuk negerimu. Namun, apalah artinya tugas itu yang memisahkan para kekasih, menjadikan para wanita menjanda dan membuat anak-anak menjadi yatim? Patriotisme apakah ini, hanya karena sebab kecil harus menimbulkan perang yg menghancurkan negara? Kewajiban apakah ini, bagi orang-orang desa miskin yang tak pernah diperhatikan oleh yang kuat dan mempunyai hak istimewa?
    "Jika tugas itu mengasingkan kedamaian dari tengah bangsa dan patriotisme menimbulkan malapetaka terhadap kesentosaan manusia, maka pergilah bersama tugas dan patriotisme menimbulkan malapetaka terhadap kesentosaan manusia, maka pergilah bersama tugas dan patriotisme!....Tidak, kekasihku! Jangan hiraukan kata-kataku. Tetaplah jadi pemberani dan cinta tanah airmu. Jangan hiraukan kata-kata gadis yang dibutakan cinta, yang pemisahan telah merampas penglihatan. .... Apabila cinta tidak mengembalikanmu padaku didunia, ia akan menyatukan kita dalam kehidupan mendatang."
    Putri laut itu meletakan kembali surat itu di balik pakaian pemuda itu dan berenang menjauh dalam kesedihan pekat. Dan, ketika mereka telah menempuh sebuah jarak, salah seorang dari mereka bertutur
    "Sesungguhnya hati manusia lebih kejam daripada Neptune."



Tidak ada komentar:

Posting Komentar